TANGERANG - Pembongkaran warung milik rakyat kecil di lahan PT. Kumatek oleh Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP) Kota Tangerang menimbulkan kecaman keras dari berbagai pihak.
Di bawah komando Yudi, Camat Kota Tangerang, Satpol PP melakukan tindakan tegas membongkar warung yang terletak di jalan menuju RSUD Kota Tangerang. Namun, ironisnya, pabrik plastik yang terletak tidak jauh dari lokasi warung dan diduga melanggar Peraturan Daerah (Perda), tetap berdiri tanpa ada tindakan apa pun dari pemerintah.
Setelah pembongkaran, hujan lebat mengguyur wilayah tersebut, semakin menambah kepedihan para pemilik warung yang kini kehilangan tempat usaha dan tempat berteduh. Warga yang menyaksikan kejadian itu merasa miris melihat kondisi penghuni warung yang harus bertahan di tengah hujan deras tanpa ada perlindungan.
Bahru Navizha, SH, Ketua Umum Gatra, dengan tegas mengecam tindakan aparat yang dianggap tidak manusiawi.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak mencerminkan keadilan dan lebih menguntungkan pihak-pihak besar seperti pemilik pabrik yang jelas-jelas melanggar Perda.
"Ini bentuk ketidakadilan yang sangat mencolok. Kenapa warung kecil milik rakyat harus dibongkar, sementara pabrik yang melanggar aturan dibiarkan? Penegakan hukum seharusnya tidak tebang pilih." Ujarnya.
"Kami di Gatra sangat prihatin dengan situasi ini dan akan terus mengawalnya sampai keadilan ditegakkan, " kata Bahru dengan nada keras. Kamis lalu (26/09).
Ia menambahkan bahwa tindakan ini mencerminkan ketimpangan dalam penegakan hukum di Kota Tangerang.
"Warung rakyat dibongkar tanpa ampun, sedangkan pabrik besar yang melanggar dibiarkan. Ini sangat menyedihkan. Pemerintah daerah harus lebih adil dan berpihak kepada rakyat kecil, bukan hanya melayani kepentingan korporasi, " tegasnya.
Sementara itu, Suhandi, selaku Kepala Seksi (Kasie) Satpol PP Kecamatan Tangerang, membenarkan bahwa dirinya hanya melaksanakan perintah dari atasannya, yakni Camat Tangerang, Yudi.
"Saya hanya menjalankan apa yang diperintahkan atasan saya. Semua tindakan ini dilakukan atas instruksi Camat, " ungkap Suhandi.
Pernyataan ini menambah kegeraman masyarakat yang melihat adanya ketidakadilan dalam penegakan Perda.
Para pemilik warung yang menjadi korban pembongkaran juga merasa sangat terpukul. Salah seorang pemilik warung yang sangat sedih dan prihatin mengatakan.
"Kami hanya mencari nafkah dari warung ini. Sekarang semuanya sudah hancur. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi, ini satu-satunya sumber penghidupan kami. Sangat tidak adil melihat warung kami dibongkar, sementara pabrik yang melanggar aturan dibiarkan." Ucap salah seorang Pedagang di Lokasi terdampak.
Masih kata Bahru, "masyarakat luas kini mulai mempertanyakan integritas Pemerintah Kota Tangerang, dalam menegakkan aturan yang seharusnya berlaku untuk semua. "Ketimpangan perlakuan ini semakin menegaskan bahwa hukum tidak selalu berpihak pada mereka yang lemah, dan kepentingan besar sering kali mengabaikan nasib rakyat kecil."
Dengan adanya kecaman dari berbagai pihak, termasuk Bahru Navizha, SH dan organisasi Gatra, diharapkan pemerintah daerah segera mengambil tindakan yang lebih adil dan transparan.
"Kasus ini menjadi sorotan penting tentang bagaimana penegakan Perda harus dijalankan dengan lebih manusiawi dan tanpa diskriminasi, agar rakyat kecil tidak terus menjadi korban kebijakan yang tidak adil." Imbuhnya.
Pasal 34: "Pelanggaran ketentuan tentang bangunan yang tidak sesuai dengan izin dapat dikenai denda administratif paling banyak Rp50.000.000, 00 (lima puluh juta rupiah) atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan."
"Namun, penting dicatat bahwa Perda ini seharusnya ditegakkan secara adil dan tanpa diskriminasi. Penegakan hukum yang hanya menyasar pihak kecil seperti pemilik warung, sementara pelanggaran besar seperti pabrik yang tidak mengikuti Perda dibiarkan, jelas menimbulkan rasa ketidakadilan di masyarakat." Pungkasnya.
Sebelumnya, Bahru juga memaparkan, penerapan sanksi ini harus konsisten dan sesuai dengan Pasal 34, yang juga memberikan ruang bagi pihak pemerintah untuk menindak pelanggar dari kalangan usaha besar yang melanggar ketentuan serupa.
Penegakan Perda yang adil menjadi kunci agar tidak ada lagi kesan bahwa hukum hanya tajam ke bawah dan tumpul ke atas.
Sebagai penutup, kasus pembongkaran warung rakyat di atas lahan PT. Kumatek oleh Satpol PP Kota Tangerang menimbulkan banyak pertanyaan tentang konsistensi dan keadilan dalam penegakan Peraturan Daerah (Perda). Peraturan Daerah Kota Tangerang No. 6 Tahun 2011 tentang Ketertiban Umum, khususnya Pasal 11 Ayat (1), dengan jelas melarang pendirian bangunan tanpa izin resmi dari pemilik lahan.
Namun, ketidakadilan terlihat ketika warung rakyat kecil dibongkar, sementara pabrik plastik yang hanya memiliki izin bengkel tetapi beroperasi sebagai tempat produksi besar, tetap dibiarkan beroperasi.
Menurut Pasal 11 Ayat (2) dan Pasal 33, pelanggaran atas bangunan tanpa izin dapat dikenakan sanksi berupa pembongkaran, denda administratif, hingga pencabutan izin usaha.
Dalam kasus ini, pabrik tersebut bahkan sudah beberapa kali didemo oleh organisasi masyarakat seperti GATRA, yang mengecam aktivitas ilegal tersebut. Bahkan, protes yang dilakukan secara berkelanjutan telah memicu mutasi Kasatpol PP terdahulu, tetapi hingga saat ini, pabrik plastik tersebut masih terus beroperasi tanpa tindakan tegas dari pihak berwenang.
Sanksi yang diatur dalam Pasal 34 menyebutkan bahwa pelanggar dapat dikenakan denda administratif hingga Rp50 juta atau kurungan hingga tiga bulan. Namun, dalam kasus pabrik ini, meskipun telah berkali-kali diprotes dan dianggap melanggar izin yang diberikan (seharusnya hanya izin bengkel, bukan izin produksi), tindakan nyata dari pemerintah belum terlihat.
Masyarakat kini menuntut penegakan hukum yang lebih adil dan transparan, agar ketidakadilan dalam penegakan Perda ini tidak terus terjadi.
Harapannya, pemerintah Kota Tangerang segera bertindak tegas terhadap pelanggaran besar yang dilakukan oleh pelaku usaha besar, sehingga Perda benar-benar berfungsi sebagai instrumen hukum yang berlaku untuk semua lapisan masyarakat, bukan hanya menekan rakyat kecil. (*)